Dewi Lestari menangis terharu. Setelah mendengar kabar yang disampaikan Sri Mulyani. Bahwa kementeriannya yang sedang dirundung masalah bertubi-tubi, resmi menetapkan NPPN (norma perhitungan penghasilan netto) atas royalti mereka sebesar 40 persen.
Artinya, dari royalti yang diberikan penerbit atas karya-karya yang terjual, pemerintah hanya mewajibkan pemotongan PPh pasal 23 yang bertarif 15% terhadap 40% besaran nilai yang disepakati.

Sederhananya begini.
Misal penerbit sepakat membayar royalti kepada Dewi -- sebagai pemegang hak cipta tulisan yang dibukukan -- Rp 10 ribu per eksemplar. Anggaplah terjual 5 ribu buku. Maka Dewi berhak menerima royalti 5 ribu dikali Rp 10 ribu. Atau sama dengan Rp 50 juta.
Penetapan NPPN yang 40% di atas tadi, menyebabkan besaran yang jadi dasar penghitungan pajak tinggal Rp 20 juta sehingga potongan PPh 23 yang dikenakan 'cuma' Rp 3 juta.
Atas 'hadiah' itulah Dewi menangis terharu. Dikiranya, pemerintah memberi potongan. Disinilah yang saya sebut sebelumnya bahwa Sri Mulyani melakukan 'pembiaran kedunguan'.
Begini.
PPh pasal 23 bukan final. Jadi perlu dikreditkan terhadap perhitungan pajak penghasilan (PPh 29) saat Dewi mengisi SPT sebelum bulan Maret tahun berikutnya berakhir.
Anggaplah si Dewi tak punya penghasilan lain. Saat mengisi SPT sebelum 31 Maret berakhir, dia akan memasukkan kembali angka royalti kotor yang diperoleh sebagai penerimaan. Nilainya Rp 50 juta.
Sesuai domisili dan profesi Dewi, dia mendapatkan NPPN yang memang sudah berlaku sejak lama, sebesar 50 persen.
Artinya besaran penghasilan kotornya yang bakal dipajaki, sebesar Rp 25 juta.
Anggap saja Dewi hidup sendiri dan tak punya tanggungan. Dia tentu berhak mengkreditkan terlebih dahulu PTKP (penghasilan tidak kena pajak)-nya sebesar Rp 54 juta.
Karena hasilnya negatif, tentu tak ada kewajiban pajak prnghasilan pada tahun tersebut.
Tapi saat menerima royalti sebelumnya, sebagaimana yang diuraikan di atas tadi, penerbit telah memotong PPh 23 sebesar Rp 3 juta.
Artinya, jika Dewi harus mengkreditkan terhadap pajak terhutangnya yang sebesar Rp 0, maka pada tahun tersebut, sebetulnya, dia sudah kelebihan membayar pajak penghasilan.
Artinya Dewi berhak melakukan restitusi atas kelebihan pembayaran pajaknya sebesar Rp 3 juta.
Di sinilah kekonyolan Sri Mulyani itu. Dia tak menjelaskan kepada Dewi dan kawan-kawan yang diundang malam itu. Bahwa NPPN atas royalti sebelum menghitung PPh 23, bakal 'merepotkan' pembayar pajaknya.
Urusan restitusi pajak di republik ini, sudah jadi rahasia umum menggunakan kaidah 'asumsi pembayar pajak bersalah'. Bukan presumption of innosence yang berlaku dalam masyarakat yang memiliki kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Akibatnya, daripada repot berurusan dengan petugas pajak, pembayar pajak biasanya melakukan langkah 'pembulatan' agar nilai potongan pajak yang dikreditkan setara dengan kewajiban pajak terhutang, sehingga tak ada kelebihan maupun kekurangan pembayaran.
Dalam kasus perumpamaan yang dihadapi Dewi di atas, kebiasaan 'pengamanan' yang dilakukan, adalah dengan 'menambahkan' penghasilan lain yang diperoleh tapi belum dipotong pajak. Artinya, Dewi perlu 'menambahkan penghasilan semu' dalam SPT-nya sebesar Rp 178 juta.
Mari kita berhitung.
Jika Dewi memiliki penghasilan kotor Rp 228 juta -- diperoleh dari Rp 50 juta royalti plus pendapatan 'lain²' sebesar Rp 178 juta -- maka penghasilan kotor dia setelah norma (NPPN) sebesar Rp 114 juta.
Lalu dikurangi PTKP yang Rp 54 juta sehingga penghasilan kena pajaknya jadi Rp 60 juta. Sesuai tarif yang berlaku (5%), besar kewajiban pajak Dewi berarti Rp 3 juta.
Setelah bukti potong PPh 23 nya sebesar Rp 3 juta tadi dikreditkan, maka Dewi 'seolah' tak berhutang juga tak punya piutang kepada Negara. SPT dia 'nihil'.
Padahal, mestinya dengan nilai royalti kotor sebesar Rp 50 juta, Dewi yang bujangan dan tak punya tanggungan, belum punya kewajiban pajak kepada Negara.
Bahkan hingga akumulasi penghasilan dari royalti hingga Rp 108 juta, Dewi masih belum patut dikenakan pajak penghasilan kok.
Jika paham dan mengerti, Dewi mestinya 'menangis jengkel'. Bukan 'terharu'. Sebab, 'pembiaran kedunguan' yang dilakoni Sri Mulyani yang dipuja-puji pintar itu, sama culasnya dengan rentenir.
Berapa banyak pembayar pajak di republik ini yang dipaksa 'memgikhlaskan' kelebihan pembayaran pajak mereka, karena jengah berurusan dengan sistem yang berasas 'praduga bersalah' itu?
Rezeki seperti itu tentu tak berkah. Dibaliknya bertaburan darah dan air mata. Mungkin juga kutukan. Kasus Rubicon dan terkuaknya transaksi mencurigakan ratusan triliun itu, sunnatullah.
Mardhani, Jilal -- 26 Maret 2023

Catatan: